Zoey Deutch mengulang hari yang sama berkali-kali untuk mendapatkan pelajaran tentang hidup yang dipaparkan dengan emosional walau terlalu blak-blakan.
“Maybe for you, there’s a tomorrow. But for some of us, there’s only today.”
— Samantha Kingston
Before I Fall berada dalam spektrum yang berbeda dari kebanyakan film remaja kekinian. Sekarang ini sepertinya hanya ada dua spesies film young-adult (YA): petualangan di dunia dystopian atau romansa menye melibatkan cinta segitiga. Namun, meski hampir semua aspeknya merupakan standar film YA, termasuk penokohannya yang klise-SMA/kampus, Before I Fall berakhir menjadi film remaja yang bijak. Saya lebih suka menyebut film seperti ini sebagai film remaja yang dewasa.
Sebagaimana tokoh utamanya yang berulang kali menjalani hari yang sama, awal Before I Fall tampak seperti film remaja yang sudah berulang kali kita tontonan orisinal. Filmnya dimulai dengan cringy, dimana tokoh utamanya berada dalam lingkaran gaul ala Mean Girls yang anggotanya saling memanggil dengan istilah "bae" atau "bitches". Namun kita kemudian akan mendapati bahwa filmnya punya bobot emosional sekaligus menyampaikan pesan yang tulus, yang saya yakin mengena bagi pasar targetnya, yaitu remaja belasan tahun. Caranya menyampaikan pesan ini juga menjadi lampu merah bagi saya yang sudah bukan remaja lagi.
Beberapa hari sebelum film ini, saya menonton Easy A, komedi SMA yang dibintangi Emma Stone. Nah, SMA dalam Before I Fall seperti langit dan bumi dengan film tersebut. Dalam film ini, kehilangan keperawanan bukanlah hal yang tabu, malah dirayakan dengan sukacita. Mereka berpesta dan saling bercumbu habis-habisan. Semua orang punya penampilan menarik, bahkan anak paling cupu sekalipun. Pada Cupid Day (hari sebelum Valentine's Day), para siswa saling mengirimkan mawar, bahkan di tengah jam pelajaran.
Zoey Deutch bermain sebagai Sam, seorang gadis kaya, cantik, dan populer yang punya teman karib yang tak kalah gaul: ketua geng Lindsay (Halston Sage), si pintar Ally (Cynthy Wu) dan si liar Elody (Medalion Rahimi). Sam relatif lebih empatik dibanding temannya, tapi ia juga tak baik-baik amat. Sam tak sopan pada orangtuanya dan kasar pada adiknya.
Mereka sedang bergembira karena malam ini Sam berencaja melepas keperawanan bersama cowok paling ganteng dan atletis di kelas, Rob (Kian Lawley). Tambahkan beberapa karakter dari template film remaja: si culun yang naksir pada tokoh utama, Kent (Logan Miller) dan si aneh yang menjadi bahan bully-an bagi geng Mean Girls kita, Juliet (Elena Kampouris). Setelah berpesta dan membuat kekacauan gara-gara Juliet yang tiba-tiba hadir di tempat pesta, mereka pulang, namun mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan. Keempat gadis ini tewas.
Atau tidak. Sam terbangun kembali di pagi hari, sehat walaafiat. Ia merasa dejavu, hari yang dijalaninya saat ini sama persis dengan kemarin... hingga ia akhirnya sadar bahwa hari ini memang sama dengan hari kemarin. Ia mengulang hari yang kemarin lagi dan lagi. Kenapa ini terjadi dan bagaimana cara menghentikannya? Tak penting. Sam mencoba mengubah satu dan lain hal, mulai dari menghindari pesta, bersikap baik pada semua orang, atau malah jadi bitchy sepenuhnya. Namun tak peduli apapun yang ia lakukan, malam itu selalu berakhir dengan tragis, entah bagi dirinya atau orang lain.
Film ini diangkat dari novel YA laris karya Lauren Oliver dan diadaptasi oleh penulis naskah Maria Maggenti bersama sutradara Ry Russo-Young. Premisnya terdengar seperti Groundhog Day minus komedi atau The Edge of Tomorrow minus aksi yang dibuat dalam versi anak SMA. Yang menarik adalah bagaimana ia tak jatuh pada standar film remaja yang biasanya berkutat soal asmara. Benar, ada subplot romansa, namun ini bukan hal yang esensial. Sembari menjalani harinya berkali-kali, Sam mulai mengerti akan dirinya dan orang-orang di sekitarnya, dan bagaimana ia bisa mengubah hal-hal kecil yang memberi dampak besar bagi orang lain.
Menyaksikan rutinitas yang berulang-ulang ini tak membuat saya bosan karena di setiap repetisinya, Russo-Young satu per satu mengungkap lapisan dari kepribadian Sam dan dinamika sosialnya. Kita akan mengenal lebih banyak soal Lindsay, Juliet, adik Sam, dll, atau hubungan Sam dengan Kent. Untuk membawa kita pada titik emosional yan dimaksudkan film, ada Zoey Deutch yang tampil kuat dengan memberikan dimensi dan kedalaman bagi protagonis kita. Sam punya ketulusan dan selera humor tapi juga punya sisi gelap yang menjadikannya relatable sekaligus juga mengikat kita akan perjalanan emosionalnya untuk melihat sisi lain dari kehidupan yang tak pernah ia tahu.
Menuju akhir, pelajaran moralnya disampaikan lewat voiceover yang menurut saya terlalu berlebihan, sementara penyelesaian konflik yang lumayan kompleks cenderung disederhanakan. Beberapa bulan lalu, saya membaca 4 volume manga berjudul Saike's Repeated Days, yang tokoh utamanya punya kemampuan untuk mengulang hari yang sama demi menyelamatkan nyawa temannya. Sisi dramatis, moral dan perkembangan karakter dari manga ini lebih rasional. Pesan dari Before I Fall terdengar seperti nasihat klise dari poster-poster motivasi yang disampaikan secara blak-blakan. Tunggu, remaja kan memang tak terlalu suka dinasihati secara langsung. Jangan-jangan saya masih remaja afterall. ■UP
sumber : ulasanpilem.com
0 komentar:
Post a Comment